PHK dan Transformasi Digital
--
Selama satu tahun terakhir saya terlibat beberapa proyek transformasi digital khususnya RPA (Robotic Process Automation) dilingkungan industri telekomunikasi, dan juga industri finansial. Pada tulisan kali ini saya ingin menyoroti pandangan dari sisi manusia sebagai dampak perkembangan transformasi digital.
Robotic Process Automation
Mengutip dari uipath.com, berikut ini definisi dari RPA
Robotic process automation (RPA) is a software technology that makes it easy to build, deploy, and manage software robots that emulate humans actions interacting with digital systems and software. Just like people, software robots can do things like understand what’s on a screen, complete the right keystrokes, navigate systems, identify and extract data, and perform a wide range of defined actions. But software robots can do it faster and more consistently than people, without the need to get up and stretch or take a coffee break.
Sebagai contoh, pada industri finansial untuk market Amerika Serikat, salah satu perusahaan menghubungi saya dimana mereka tengah mengembangkan produk baru untuk melakukan otomasi terhadap aplikasi lawas perbankan yang berjalan diatas sistem operasi Windows. Aplikasi-aplikasi tersebut rata-rata sudah berjalan cukup lama dan akses pada developer lamanya pun sudah tidak ada. Saya rasa di Indonesia juga banyak bank yang memiliki masalah serupa.
Akibat kompleksitas aplikasi-aplikasi tersebut maka sulit untuk di-porting, namun pihak perbankan sebagai client butuh melakukan otomasi dan juga scale-up dengan menggabungkan teknologi masa kini seperti cloud, orchestration dan containerization. Pemilik perusahaan tersebut tertarik dengan tehnik yang sebelumnya sempat saya tulis pada blog ini untuk membangun infrastrukturnya.
Setelah infrastruktur selesai, maka selanjutnya masuk kedalam ranah aplikasi. Video singkat berikut ini sedikit banyak menggambarkan analogi RPA pada aplikasi natives di Windows (aplikasi aslinya tidak bisa ditunjukan) yang dikontrol menggunakan bahasa pemrograman Ruby, dimana bentuk sederhana / prototype berikut ini bisa di-scale up dengan menggunakan beragam servis (EKS, CloudFormation, etc) dari AWS, GCP, dsb dan diintegrasikan dengan berbagai aplikasi lainnya sehingga menjadi suatu produk berskala besar.
Keberadaan RPA jelas ‘mengancam’ pekerjaan manusia. Bisa dibayangkan jika sebelumnya proses input data dilakukan oleh manusia di perbankan, dengan adanya RPA sebagaimana analogi diatas dimana proses input / output terhadap aplikasi-aplikasi lawas yang sudah tidak bisa dikembangkan lebih lanjut bisa dilakukan oleh mesin maka keberadaan manusia tidak dibutuhkan lagi. Atau setidaknya bisa dikurangi. Mesin bisa mengerjakan otomasi seperti contoh diatas dengan lebih cepat, lebih tahan lama, tidak butuh istirahat, dan selalu siap sedia 24/7.
Dari industri finansial, saya coba bawa ke industri telekomunikasi di Indonesia…
RPA di Industri Telekomunikasi
SDM di industri telekomunikasi menikmati ekslusifitas dunia telekomunikasi selama bertahun-tahun. Bayarannya besar. Bahkan dinegara kaya seperti Qatar misalnya, bayaran orang-orang industri telekomunikasi bisa dibilang nomor 2 setelah bayaran industri oil & gas.
Industri telekomunikasi mulai melakukan transformasi yang dimulai dari ranah core sekitar tahun 2006-an. Mesin-mesin di ranah core mulai berganti ke server-server IT. Eksklusifitas SDM core mulai berkurang karena orang-orang IT (seperti saya hehehe) mulai bisa menggantikan posisi mereka sehingga rate bayaran engineer-engineer core menurun. Ini teori dasar dari supply and demand. Industri IT adalah industri yang lebih terbuka sehingga ketersediaan SDM nya jauh lebih banyak. Ketika supply meningkat dan demand menurun maka bisa dipastikan harga SDM semakin ketat bersaing sehingga lebih mudah dikendalikan.
Komponen dalam dunia industri telekomunikasi pada dasarnya terbagi menjadi 2 bagian besar: core dan radio. Ketika bagian core mulai tergerus oleh perangkat-perangkat IT sekitar 15 tahun lalu, bagian radio masih tetap dapat menikmati eksklusifitas dunia Telekomunikasi. Role bagian radio seperti manjat tower, benerin posisi antena, drive test memastikan kekuatan sinyal pada suatu lokasi, hingga proses optimisasi seperti mengatur kekuatan pancaran frekuensi agar antar menara BTS tidak saling tumpang tindih belum bisa diotomasi dan masih harus tetap bergantung kepada sumber daya manusia.
Namun kondisi tersebut mulai berubah seiring dengan semakin canggihnya teknologi IT. Operator telekomunikasi sedikit demi sedikit mulai memasukan komposisi teknologi IT kedalam operasional ranah radio. Aplikasi-aplikasi kecil mulai berperan, banyak diantaranya dikembangkan sendiri seperti pembuatan beragam script untuk mempercepat proses operasional. Akses pada data-data yang sebelumnya harus dilakukan secara manual, mulai banyak tersedia dalam bentuk digital sehingga tidak perlu keterlibatan fisik manusia untuk mengakses perangkat-perangkat radio tersebut.
Perusahaan operator telekomunikasi mulai melihat peluang berinvestasi pada otomasi digital dalam ranah radio lebih efektif dan efisien dibandingkan me-maintain sumber daya manusia. Maka dimulailah gelombang perubahan transformasi digital. Data-data operasional yang sudah mulai tersimpan rapih didalam sebuah data lake (bigdata) mulai dapat diolah menggunakan teknologi seperti RPA hingga AI layaknya pada industri e-commerce.
SDM yang semula berperan dalam ranah radio mulai berkurang pendapatannya akibat tergantikan oleh mesin. SDM disini bukan hanya SDM yang bekerja di perusahaan penyedia jasa telekomunikasi saja loh ya seperti misalnya klo di Indonesia ada Telkomsel, XL, Indosat, dsb. Selama bertahun-tahun saking luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya urusan operasional di ranah radio meliputi mulai dari kota-kota besar hingga ke daerah-daerah terpencil (klo di core cenderung lebih sedikit karena letaknya di kota-kota besar saja), maka penyedia jasa telekomunikasi menggunakan jasa mitra (partner / subkon) sebagai bala bantuan SDM dilapangan. Bisa dibayangkan betapa banyaknya SDM dari mitra subkon yang terlibat untuk menjamin keberlangsungan dan ketersediaan jaringan telekomunikasi dari sabang sampe merauke.
Ketika penyedia jasa telekomunikasi mulai beralih ke arah otomasi dan transformasi digital maka pada dasarnya mereka melakukan re-focusing SDM internal agar mengurusi hal-hal yang jauh lebih urgent atau lebih penting namun memiliki dampak optimal seperti dalam prinsip paretto 80/20 — bahwa untuk banyak kejadian, sekitar 80% daripada efeknya disebabkan oleh 20% dari penyebabnya, oleh sebab itu jauh lebih baik memfokuskan tenaga manusia untuk urusin 20% tadi yang dianggap berdampak lebih besar daripada mengurusi tetek bengek 80% tp dampaknya kecil. 80% inilah yang kemudian diharapkan bisa di-handle oleh mesin.
80% bagian tersebut ketika diotomasi, yang sebelumnya melibatkan SDM mitra subkon ataupun outsource, ketika digantikan oleh mesin, maka SDM ini akan mulai kehilangan pekerjaan seiring dengan keberhasilan gelombang transformasi digital.
Radio optimization merupakan salah satu role paling bergengsi di industri telekomunikasi. Mudah saja mendapatkan bayaran per bulan diatas Rp 50 jt dengan menjadi radio optim engineer / consultant. Namun itu dulu sebelum era digitalisasi. Sekarang-sekarang ini rate tersebut jauh menurun bahkan mungkin hingga setengahnya saja. Apalagi ketika sudah mulai bisa di-handle oleh mesin maka kebutuhan radio optim engineer akan jauh berkurang, alhasil seperti masa-masa ketika bagian core bertransformasi, demand berkurang sehingga terjadi persaingan harga dari supply yang tersedia. Harga akan semakin mudah dikendalikan (baca: ditekan murah).
Transformasi Skills
Ketika terlibat dalam pengembangan aplikasi untuk optimisasi radio, berhubung pengetahuan saya lebih ke wilayah core maka saya banyak bertanya ke teman-teman di wilayah radio. Awalnya saya merasa cukup aneh, kok pada tertutup ya? ternyata pada saat itu sudah beredar paradigma bahwa otomasi sudah dan akan terus menggerus pekerjaan ranah radio optim.
Bahkan salah seorang rekan sempat bilang begini,
Syid, klo orang-orang pada tau elo bikin automation project untuk radio optim seperti ini, pasti pada gak suka, dan mungkin bakal dicari elo buat dikeroyok
Hehehe….
Well, awal-awal dulu saya tidak terlalu paham betapa sensitifnya isu ini, namun belakangan saya semakin memahami.
Disisi lain, karena saya terlibat dalam proses rancangan bisnisnya juga dimana harus menggali pain point dari sisi penyedia telekomunikasi sebagai client, maka saya memahami pula sudut pandang mereka dimana mereka pun dalam posisi tertekan untuk segera melakukan transformasi dan melakukan inovasi lain karena revenue dari model bisnis yang telah berjalan selama ini semakin menurun. Jika tidak bertransformasi maka besar kemungkinan akan kolaps dalam 5–10 tahun kedepan, atau malah lebih cepat dari itu.
Salah satu strategi yang perlu dilakukan adalah melakukan cost saving. Intinya, jika CAPEX pada RPA bisa menurunkan cost yang selama ini digunakan untuk OPEX maka mereka bisa sustain, sehingga pihak manajemen akan memilih untuk berinvestasi menuju ke arah otomasi.
Gambar diatas sering saya tunjukan akhir-akhir ini, baik dalam presentasi terkait aplikasi yang sedang dikembangkan maupun kepada rekan-rekan di dunia industri telekomunikasi.
Intinya, dunia telekomunikasi bergerak kearah tranformasi digital. Suka atau tidak suka, kenyataan tersebut sudah terjadi dan akan lebih luas lagi impact-nya. Kalaupun bukan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan lokal Indonesia, maka aplikasi-aplikasi dari perusahaan asing yang akan masuk ke Indonesia. Jadi hasilnya ya sama saja kedepannya.
My point is: daripada defending dan menolak perubahan maka lebih baik join the forces and get onboard immediately.
“Life isn’t about waiting for the storm to pass. It’s about learning how to dance in the rain.”
Sekilas mungkin terdengar cliche, namun perlu dipertimbangkan bagi rekan-rekan yang terkena dampaknya untuk segera diadopsi. Stop being delusional degan terus mengenang kejayaan eksklusifitas dunia industri telco masa lalu.
Jadi apa saja opportunity yang bisa dilakukan bagi SDM yang sudah atau akan terkena dampak otomasi tersebut?
Pertama, software development membutuhkan knowledge dari para SME (Subject Matter Expert) untuk mengotomasi pekerjaan. Ambil contoh ketika otomasi dilakukan untuk menentukan apakah suatu site sudah layak on-air. Tentu banyak parameter-parameter yang perlu dijadikan acuan, dan bisa jadi berbeda-beda. Siapakah yang memiliki knowledge tersebut? Engineer RAN.
Pada output diatas, ada beberapa acuan kategori untuk menentukan apakah suatu site layak on-air, diantaranya terkait KPI dari 1st tier (site yang berada disekitar site baru tersebut). Siapa yang bisa memberikan rekomendasi acuan kategorinya apa saja? Engineer RAN. Siapa yang bisa memberikan rekomendasi KPI nya apa saja? Engineer RAN. Siapa yang bisa memberikan informasi parameter pembentuk suatu KPI apa saja? Engineer RAN. So, got the point?
Dengan menjadi SME, engineer radio akan mendapatkan kesempatan untuk memperluas pengetahuannya ke ranah IT seperti terlibat dalam proses SCRUM, product management, atau bahkan belajar pengolahan data bersama data scientist.
Dengan mempelajari pengetahuan baru maka engineer radio yang mulai terdampak tadi bisa terbuka kesempatan untuk masuk kedalam ranah pekerjaan lain dimasa yang akan datang.
Penggambaran diatas bisa menjadi simplifikasi analogi ‘dance in the rain’. Teman-teman di dunia telekomunikasi ketika mau belajar tehnik pengolahan data, belajar algoritma-algoritmanya, maka bisa menjadi batu loncatan untuk pindah ke domain lain.
Kedua, ada banyak sekali cara untuk meningkatkan skill sehingga bisa tetap relevant dengan perkembangan dunia kerja / industri. Again, mungkin terdengar cliche, tapi harus dilakukan untuk pengembangan diri jika tidak ingin tergerus oleh dinamika transformasi digital. Dan ini tidak berlaku untuk industri telekomunikas saja, bisa diberlakukan untuk semua sektor industri.
Untuk sektor Telekomunikasi, komunitas seperti Telco Indonesia Professional Network aktif sekali melakukan sharing knowledge dan juga menyelenggarakan pelatihan seputar 5G, data science, product management dsb, saya sangat yakin upaya tersebut dilakukan untuk membantu rekan-rekan di dunia telekomunikasi agar tetap ‘stay relevant’ dengan perkembangan jaman (bisa dengan join program BTI-2022 misalnya).
Kedua solusi diatas hanya bagian dari contoh kecil yang bisa diaplikasikan. Tentunya masih ada banyak contoh-contoh lain yang bisa diterapkan sebagai upaya agar tetap bisa bertahan dan bersaing didalam dunia industri.
Saya ingin menekankan sekali lagi satu poin penting disini, suka atau tidak suka transformasi digital akan terjadi. Otomasi oleh mesin akan terjadi dimana-mana. Suka atau tidak suka, dampaknya terhadap sumber daya manusia akan terasa dan merata diseluruh sektor industri. Jika tidak ingin tergerus, harus rela bersusah payah mengikuti perkembangan dengan senantiasa berani mempelajari hal-hal baru dan tidak terjebak pada kesuksesan masa lampau.
Lifelong learning is the key, and ftw, my dear friends…